Kamis, 02 Februari 2017

Sesuatu Yang Tumbuh Diam-Diam

Sesuatu Yang Tumbuh
Diam-diam
Mei, tahun pertama

    Setelah perkenalan kita kala itu, aku berharap segalanya kembali normal. Kau kembali ke langit (tempat semestinya bintang berada), dan aku kembali ke bumi, tenggelam dalam rutinitas. Hidupku selama ini sudah teramat tenang, dan aku tidak ingin secuil adegan perkenalan denganmu menjadi efek kupu-kupu yang merusak banyak rencanaku di masa depan. Percayalah, aku sudah pernah bergumul dengan asmara, dan patah hati yang di timbulkan tidak berdampak baik. Aku tidak membutuhkan drama untuk saat ini.

    Namun, nahasnya, sebuah "Hai! Apa kabar?" darimu kembali membuyarkan fokusku. Mati-matian aku berkata pada cermin bahwa perasaan untukmu hanyalah euforia sesaat, yang akan hilang dalam hitungan hari. Semudah itu kau kembali menyeretku menjadi budakmu. Dan bayangan di cermin tertawa mengejekku, "Makan tuh cinta" katanya puas.

     Cinta selalu bersemi di tempat, waktu, dan situasi yang tidak terduga. Ia laksana mentari di tengah temaram; hijau di antara gersang. Cinta tidak pernah datang tiba-tiba; ia akan menghendap-hendap menyusup ke dalam urat nadimu, meledakkan jantungmu, lalu meninggalkanmu terbakar habis bersama bayang-bayangnya.

    Dan, aku hanya mampu menjadi korban dari kerinduan yang mencekik; yang tersenyum dengan pipi merah merona tatkala kau menyapaku. Bak anak kecil menemukan mainan yang paling di idamkan, memimpikanmu terasa menyenangkan. Meski kau hanya dapat kupandangi dari luar etalase. Kau terlalu mahal untuk kutebus. Atau, apakah aku perlu menjadi penjahat saja? Yang mencurimu hanya karena aku tak rela orang lain menikmati keindahanmu?

    Kutampar pipiku sendiri. Bukan! Aku bukan anak kecil, dan kau bukan mainan. Hatimu bukan untuk kucuri, melainkan untuk kuminta baik-baik.

    Sebuah "Hai! Apa kabar?" mampu membuat seseorang gagal move on. Aku mulai intens berbincang denganmu. Setelah "Hai! Apa kabar?", ada "Jangan lupa makan", dan "Selamat tidur". Dan disetiap obrolan kita, aku selalu berusaha mati-matian untuk terfokus pada kata-katamu. Sulit bagiku mendengarkanmu, jika parasmu mendistraksi lagi dan lagi.

    Kali ini, aku tidak bisa mengelak. Aku yakin bahwa hatiku sudah ada di genggamanmu; menjadi hak milik untuk kau rawat, atau mungkin kau hancurkan. Namun, tak perlulah aku berpikir terlalu jauh. Sekarang yang terpenting adalah mengatur siasat agar posisi kita berimbang. Akupun harus bisa menggenggam hatimu. Karena entah kau sejauh langit, atau sedekat langit-langit, bagiku kau bintang yang aku puja setengah mati.


1 komentar: