Kamis, 02 Februari 2017

Saat Hati Kita Melebur

Saat Hati Kita
Melebur
Juni, tahun kedua

    Mentari menyingsing di ufuk timur. Tangan kita berpegangan. Bahasa terindah kita adalah keheningan. Huruf terindah kita adalah kerinduan. Kata-kata terindah kita adalah kau dan aku saling mendoakan. Kita tak mampu mendefinisakan apa yang kita rasa. Kita berdua hanya tahu bahwa ini indah walau tak bernama. 

   Setelah malam demi malam kau menahan perih peninggalan masa lampau, setelah minggu demi minggu kau mencoba untuk tidak lagi jatuh hati, setelah purnama demi purnama aku tak jua henti menanti, kita memutuskan untuk mencoba. Seberat apapun hidup. Sehebat apapun perbedaan, kita memutuskan untuk mencoba.
  
    Jatuh cinta memang tak pernah direncanakan, tapi membina sebuah komitmen, butuh perencanaan. Mabuk kepayang itu mudah. Kau hanya perlu mereguk suka cita sebanyak-banyaknya. Yang sulit itu menghadapi resiko terjaga dari mabuk tanpa ada siapun disebelahmu. Jatuh cinta itu mudah kau hanya perlu terpanah asmara, lalu jatuh. Yang sulit itu menghadapi resiko berdiri sendirian dengan hati yang terluka. Kasmaran itu mudah. Kau hanya perlu senyum-senyum sendiri setiap akan berangkat tidur. Yang sulit itu menghadapi resiko terbangun dengan hati yang patah tanpa ada yang mampu merekatkannya kembali.

    Kenapa aku mau menghadapi semua resiko itu? Karena duduk disebelahmu sambil memandang matamu, merasakan jantungku ingin meledak, lalu melihat senyumanmu menghentikan duniaku, resiko apapun jadi tak berarti untuk ditempuh. Bersamamu, kesulitan-kesulitan tersebut menjadi tiada.

  Kau bertanya, mengapa harus engkau? Aku tidak pernah punya jawabannya. Aku rasa kita tidak bisa memilih siapa yang patut kita taruh dalam hati kita. Kau pernah meragu, apa hebatnya dirimu. Aku tak perlu menjawab itu. Lihat saja bagaimana kau selalu mampu membuat aku tersenyum, seburuk apapun hari yang kulaluli.

    Di belakangmu ada rasa sakit, di depanmu ada kisah baru, di sebelahmu ada aku yang takkan pernah pergi. Kau hanya perlu mengubah caramu melihat.

    Susah dan senang, jatuh dan bangun, gembira dan terluka, aku bersamamu. Aku bersamamu untuk menuntun, bukan menuntut; menggandeng, bukan menarik paksa; mempercayai, bukan mencurigai; membahagiakan, bukan membahayakan. Jadi, jangan menyerah.... Jangan hari ini.




Ketika Kukira Aku Istimewa

Ketika Kukira Aku
Istimewa
Agustus, tahun pertama


    Kukira hanya untukku dirimu. Ternyata kau terbagi ke segala penjuru, sporadis memberi angin surga pada kawanan pemangsa.

    Masih kurangkah telinga ini mendengar keluh kesahmu? Belum cukupkah waktuku untuk membalas segala aduanmu? Jika aku yang kau rasa menenangkanmu, lantas mengapa ia yang menenangkanmu? Siapa gerangan dirinya? Dari mana datangnya? Mengapa aku tidak melihatnya datang? Tampaknya, terlalu rapi kau sembunyikan musuhku didalam selimutmu (siapapun yang berusaha merenggutmu akan kuanggap musuhku). Jadi selama ini, saat aku berharap, mungkin saja kau dan dirinya sedang menikmati malam minggu bersama. Saat aku terbuai, mungkin saja kalian sedang bergandengan tangan. Saat aku hendak membantu masalah-masalahmu, sudah ada dirinya yang menjadi kesatria untukmu. Bravo. Luar biasa.

    Dan kalah sebelum berperang adalah perasaan yang sangat menyebalkan.

    Hari ini mau tak mau harus kembali lagi kupakai topeng senyumku. Kusimpan lagi perasaanku rapat-rapat.

    "Selamat," kataku.

    Padahal, bara membakar hati. Sembari hangus, aku terus mengutuk diri sendiri. Wahai kau yang berjubah api, puaskah kau menjadikanku arang? Sebenar-benarnya cemburu yang menyakitkan adalah cemburu pada seseorang yang tidak peduli akan perasaan kita. Namun, ini bukan salahmu... Sungguh. Memang aku saja yang tidak pernah cukup berani  untuk menjabarkan apa yang sepatutnya kau ketahui. "Selamat," ulangku dengan penuh kemunafikkan. Padahal, diam-diam kudoakan ia mati saja.

    Kau tersenyum, matamu berbinar. Entah lugu atau pura-pura tak mengerti mengenai apa yang kupendam. Dan aku yang bodoh ini terkunci rapat-rapat didalam labirinmu; tak tahu jalan keluar.

    Secara terselubung, kususupi hari-harimu dengan pengharapan. Secercah harapan mampu hadir bahkan di ruang tergelap. Tenang saja, kau takkan kehilangan segala perhatianku. Aku hanya menyembunyikannya dengan lebih rapi lagi.

    Ya.... Aku mengalah. Aku mengalah karena aku percaya, kalau kau memang untukku. Sejauh apapun kakimu membawamu lari, jalan yang kau tempuh hanya akan membawamu kembali padaku.





Tak Perlu Meminta Mereka Untuk Mengerti

Tak Perlu Meminta
Mereka Untuk
Mengerti
Juni, tahun pertama

    Akhir-akhir ini, kalimat "jadilah diri sendiri" terasa klise. Apakah seseorang bisa menjadi diri sendiri? Bukankah diri ini adalah hasil kolektif pengetahuan yang kita dapat dari lingkungan sekitar? Kalau begitu, aku ganti kalimatnya menjadi "jangan berusaha menjadi keren, berusaha saja menjadi jujur". Sebab, banyak sekali orang yang merasa keren dengan cara mengikuti sekitarnya; memakai apa yang sedang keren, sampai melakukan hal-hal ngaco hanya karena ingin di anggap keren. Tapi, untuk menjadi jujur, itulah yang sulit. Setidaknya, jujur kepada diri sendiri; melakukan hal-hal yang memang di inginkan oleh hati nurani, meski harus dihina oleh orang lain.

    Kebanyakan dari kita terlalu takut untuk dihina. Kita lupa bahwa hampir semua tokoh dunia mesti menghadapi hinaan pada zamannya sebelum di cantumkan dalam sejarah. Jadi, jangan takut untuk menjadi jujur. Jangan takut melawan arus. Hanya karena tidak ada yang setuju dengan pendapatmu, bukan berarti pendapatmu salah.

    Ketika orang lain memakai sepatu keluaran terbaru dan kau tetap memakai kets butut, tak perlu meminta mereka untuk mengerti. Ketika orang lain betah mengobrol di dunia maya dan kau tidak betah berlama-lama di depan telpon genggam, tak perlu meminta mereka untuk mengerti. Ketika orang lain melakukan sesuatu untuk disukai dan kau melakukan sesuatu karena kau suka, tak perlu meminta mereka untuk mengerti. Ketika orang lain memilih terikat dengan rutinitas dan kau lebih memilih terikat dengan kebebasan, tak perlu meminta mereka untuk mengerti. Tak perlu menyeragamkan diri dengan kebanyakan orang. Tak perlu kekinian (karena yang kekinian akan alay pada waktunya). Tak perlu repot-repot menyamakan diri dengan orang lain, kau diciptakan untuk menjadi unik. Sudah terlalu banyak orang yang sama seperti kebanyakan orang. 

    Dirimu hanya ada satu di muka bumi. Lebih baik dibenci karena lidah berkata jujur, daripada disukai karena lidah menjilat. Pengagummu akan pergi setelah kau tak sesuai lagi dengan imajinasinya, tapi orang yang menyayangimu akan tetap tinggal betapapun buruknya dirimu. Dan diterima apa adanya tanpa harus berpura-pura menjadi orang lain itu indah.






Dan Kemudian

Dan kemudian
Juni, tahun pertama

    Pagi datang lagi, membangunkanku dengan kicauan burung dan mentarinya. Hari yang berbeda, waktu yang berbeda, masa yang berbeda. Masih dengan perasaan yang sama, yang menunggu pesan darimu masuk kedalam ponselku. Sekedar "selamat pagi" akan jadi dua kata paling hebat untuk mengawali hariku. Ternyata tidak ada.

    Buku yang tergeletak di sebelah pemutar musik sudah tiba pada halaman terakhir. Kata mereka, hidup itu harus seperti membaca buku. Kita tidak akan bisa lanjut ke bab berikutnya jika terus terpaku di bab sebelumnya. Namun, mengapa hidupku lebih mirip satu lagu yang sudah bersenandung ratusan kali di pemutar musik sedari malam? Terus berputar balik tanpa pernah bosan kunikmati kesenduannya.

    Lagi-lagi imajinasi mentertawakanku karena selalu berhasil menemuimu. Sementara realitas? Dalam realitas, kita berdua hanyalah dua orang yang berlari. Aku sibuk mengejarmu, kau pun sibuk menghindariku. Oh tenang. Aku tidak lelah. Justru, aku menikmati prosesnya.

    Kemudian, pagi kembali berganti malam. Repatisi yang tidak lagi membosankan semenjak kau hadir. Mata coklatmu yang indah, di campur senyumanmu yang berseri, tak pernah gagal membuat jagat rayaku meledak menjadi jutaan kembang api. Sementara kata-katamu yang seadanya dan terkesan dingin adalah residu dari kembang api yang menghanguskan bumiku menjadi jelaga.

    Gelap....

    Lagi-lagi aku menantimu seperti menanti cahaya; tak menyerah walau langkah melemah. Entah mengapa hatiku berkata, kaulah orangnya. Gemintang keras menyemangatiku. Disini sunyi, tanpa ingar bingar. Entah mengapa hatiku berkata, kau akan datang. Kita sama-sama pemimpi. Kau mengejar impianmu, dirinya. Dan aku menunggu impianku, yaitu dirimu. Entah mengapa hatiku berkata, kau pantas untuk semua pengorbanan.



Untukmu Yang Berjubah Api

Untukmu Yang
Berjubah Api
Mei, tahun pertama


    Untukmu yang berjubah api, hangatmu mencairkan hati yang membeku; hati yang sempat kudinginkan karena luka masa lalu. Apa kau tahu?  Meratapai puing di antara reruntuhan kisah lama, tanpa mengikuti ritme dunia, adalah ilusi yang menenangkan. Jadi, tak usah mengharapkanku menitipkan sesuatu yang belum tentu bisa kau jaga. Meski mungkin, pengharapan darimu hanyalah pengharapan dariku semata.

    Jangan memikat jika kau tak berniat mengikat. 

    Kau imigran gelap yang menjelajahi khayalku tanpa permisi, lalu singgah di ujung mimpi. Mantra apa yang kau taburkan hingga aku menggilaimu seperti ini? Senjata apa yang kau pakai hingga tamengku tak sekuat dulu? Haruskah aku menyerah dihadapanmu? Atau perlukah aku berpura-pura tangguh? Apa mesti kau ku usir? Atau kubiarkan saja kau menetap?

    Jika ingin menetap, jangan menetap sebagai "tanda tanya", tapi sebagai "titik" pengembaraan. Kau jernih di antara buram, nyata diantara nanar. Biar kurengkuh dirimu beberapa milimeter ke dekat jantungku, agar detaknya seirama dengan jantungmu. Karena aku ingin hatiku dan hatimu berkonspirasi, berkonsorsium, berkongsi, berkompilasi, berkomplot, hingga pada akhirnya berkolaborasi. Karena aku yang egois ini hanya ingin kau menjadi miliku seorang.

    Untukmu yang berjubah api, kuharap hangatmu takkan padam, karena aku tahu akupun tidak.





Sesuatu Yang Tumbuh Diam-Diam

Sesuatu Yang Tumbuh
Diam-diam
Mei, tahun pertama

    Setelah perkenalan kita kala itu, aku berharap segalanya kembali normal. Kau kembali ke langit (tempat semestinya bintang berada), dan aku kembali ke bumi, tenggelam dalam rutinitas. Hidupku selama ini sudah teramat tenang, dan aku tidak ingin secuil adegan perkenalan denganmu menjadi efek kupu-kupu yang merusak banyak rencanaku di masa depan. Percayalah, aku sudah pernah bergumul dengan asmara, dan patah hati yang di timbulkan tidak berdampak baik. Aku tidak membutuhkan drama untuk saat ini.

    Namun, nahasnya, sebuah "Hai! Apa kabar?" darimu kembali membuyarkan fokusku. Mati-matian aku berkata pada cermin bahwa perasaan untukmu hanyalah euforia sesaat, yang akan hilang dalam hitungan hari. Semudah itu kau kembali menyeretku menjadi budakmu. Dan bayangan di cermin tertawa mengejekku, "Makan tuh cinta" katanya puas.

     Cinta selalu bersemi di tempat, waktu, dan situasi yang tidak terduga. Ia laksana mentari di tengah temaram; hijau di antara gersang. Cinta tidak pernah datang tiba-tiba; ia akan menghendap-hendap menyusup ke dalam urat nadimu, meledakkan jantungmu, lalu meninggalkanmu terbakar habis bersama bayang-bayangnya.

    Dan, aku hanya mampu menjadi korban dari kerinduan yang mencekik; yang tersenyum dengan pipi merah merona tatkala kau menyapaku. Bak anak kecil menemukan mainan yang paling di idamkan, memimpikanmu terasa menyenangkan. Meski kau hanya dapat kupandangi dari luar etalase. Kau terlalu mahal untuk kutebus. Atau, apakah aku perlu menjadi penjahat saja? Yang mencurimu hanya karena aku tak rela orang lain menikmati keindahanmu?

    Kutampar pipiku sendiri. Bukan! Aku bukan anak kecil, dan kau bukan mainan. Hatimu bukan untuk kucuri, melainkan untuk kuminta baik-baik.

    Sebuah "Hai! Apa kabar?" mampu membuat seseorang gagal move on. Aku mulai intens berbincang denganmu. Setelah "Hai! Apa kabar?", ada "Jangan lupa makan", dan "Selamat tidur". Dan disetiap obrolan kita, aku selalu berusaha mati-matian untuk terfokus pada kata-katamu. Sulit bagiku mendengarkanmu, jika parasmu mendistraksi lagi dan lagi.

    Kali ini, aku tidak bisa mengelak. Aku yakin bahwa hatiku sudah ada di genggamanmu; menjadi hak milik untuk kau rawat, atau mungkin kau hancurkan. Namun, tak perlulah aku berpikir terlalu jauh. Sekarang yang terpenting adalah mengatur siasat agar posisi kita berimbang. Akupun harus bisa menggenggam hatimu. Karena entah kau sejauh langit, atau sedekat langit-langit, bagiku kau bintang yang aku puja setengah mati.


Rabu, 01 Februari 2017

Perjumpaan Yang Sederhana

Perjumpaan Yang
Sederhana
April, tahun pertama

    kota ini sedang dilanda gerimis, tatkala hidupku ditaktidkan untuk berubah selamanya. Adalah matamu yang pertama kali berbicara, menembus pertahananku secara membabi buta. Kau diamkan tanganmu di dalam jabatanku selama beberapa detik. Aku idamkan tanganku di dalam genggamanmu untuk selamanya. Segala keteraturan yang kubangun selama ini, runtuh dalam sekejap. Padahal, perjumpaan kita begitu sederhana; tidak sedramatis kisah-kisah yang di dongengkan para pujangga. Meski begitu, bagiku kau istimewa, melebihi apa yang mampu digambarkan susastra. Bahkan, aku yakin kau bukan manusia biasa. Mungkin kau adalah malaikat yang sedang menyamar, diturunkan bersama lusinan bom atom yang meledakkan dimensiku. Dan aku hanya bisa pasrah membiarkan perkenalan kita dimulai.

      Hey! Jangan dulu pergi. Aku tidak ingin pulang ke rumah, lalu berlama-lama menatapmu membeku di layar ponsel. Kau terlalu indah untuk ku biarkan berkeliaran di linimasa. Sudah, duduk saja disebelahku, hingga di penghujung zaman bila perlu. Aku takkan keberatan. Jangan tanya kenapa. Logika telah mati. Ajukan saja pertanyaan muluk itu pada jantungku yang berdebar saat tenggelam senyumanmu (meski kutahu senyumanmu untuk saat ini hanya basa-basi normatif). Tumbuh harapan dalam hatiku; berharap kelak dapat kutemui senyumanmu yang sesungguhnya. Dan jika tidak berlebihan, akulah orang yang membuatmu tersenyum.

   Kau pun pamit undur, menyisakan wangi yang pekat mewarnai udara. Tanpa mau bertanggung jawab, kau tinggalkan aku termabuk sendirian. Jika kasmaran adalah narkotik, maka kau lah bandarnya. Dan aku bagaikan pencandu yang rela menggadaikan jiwa demi menatap matamu sekali lagi.



Dimensi Tentangmu

Dimensi Tentangmu
Pada sebuah garis waktu


    Pernahkah kau berada di titik dimana hidupmu begitu teratur, melakukan segala hal yang kau mampu untuk menjadi seragam, berharap semua akan baik-baik adanya, namun tetap merasa ada yang hilang? Seolah, ada satu kepingan puzzle yang tak juga melengkapi teka-teki yang kau ciptakan sendiri.

      Semestaku sebelum kau datang adalah konstelasi yang sistematis; mengandung stagnasi yang konservatif. Aku tidak tahu caranya menghargai mentari yang membakar langit hingga kemerahan. Aku tidak tahu caranya mencium wangi hujan yang membasahi bumi. Aku tidak paham dimana indahnya kalimat yang termakhtub dalam larik-larik puisi.

     Malam-malamku hanya berisi kumpulan tugas yang harus rela kubagi dengan jam tidur. Dan pagi-pagiku hanyalah refatisi membosankan untuk mengenyangkan logika. Aku lupa bahwa bintangpun bernyawa, hutanpun bernapas, dan kita diciptakan untuk melakukan hal-hal yang lebih besar dari sekedar rutinitas harian. Aku lupa bahwa kita semua terkoneksi; bahwa cinta sepatutnya menjadi bahan bakar agar kita tetap melangkah. Garis besarnya, aku lupa caranya menjadi manusia.

     Dan kemudian kau datang.

 Kau menjadi seseorang yang meporak-porandakan jagat rayaku. Dengan cara yang termanis, kau memintaku untuk merasakan dan mensyukuri segala hal yang cepat atau lambat akan berakhir.

  Maka ijinkanlah aku menulis untukmu, tentangmu, meski aku tidak tahu apakah surat ini akan tiba di sisi ranjangmu, atau hanya terdampar dibentangan ufuk. Ijinkanlah aku mengabadikan perjalanan kita, agar aku tidak lupa bahwa suatu ketika diantara perjumpaan dan selamat tinggal, malam pernah dipenuhi senyum, senja pernah menjadi bait puisi, hujan pernah menghantarkan kerinduan, dan tangan kita pernah saling bergandengan. Diantara perjumpaan dan selamat tinggal, kita pernah sekuat tenaga berjuang menyatukan perbedaan, meski diakhiri dengan kerelaan untuk menyerah. Di antara perjumpaan dan selamat tinggal, kau dan aku pernah menjadi kita.


Fiersa Besari (Garis Waktu) 

Memandangmu Dengan Samar

Memandangmu 
Dengan samar
September, tahun ketiga 

   Aku bisa menuntunmu saat kau tersesat. Aku bisa memelukmu saat kau bersedih. Aku bisa bertahan menunggumu berubah. Aku bisa mengalah menghadapi egomu. Aku bisa memalsukan senyumanku sendiri. Tapi aku manusia. Pada akhir sebuah hari, aku bisa kecewa. Aku bisa muak dengan perkelahian-perkelahian kita yang menjadi terlalu sering, atas apa yang terlalu absurd untuk di ungkit. Sampai-sampai, aku tidak tahu lagi alasan kita berkelahi. Apa yang engkau mau dan apa yang aku mau, kadang bukan untuk dirangkum dalam bahasa. Lagi-lagi kita berujung saling maki. 

      Ada bagian darimu yang terkikis di setiap perjumpaan kita, sebagaimana ada bagian dariku yang tergores disetiap pertikaian kita.

      Coba kau ingat kembali perjuangan kita mencari dermaga yang semestinya melabuhkan kapal kita. Waktu itu kau dan aku kuat menghadang ombak dan badai. Saat ini, kau memilih untuk mendayung ke arah yang berbeda, dan aku memilih untuk mengisi perjalanan kita dengan diam. Lantas, apakah ini waktu yang tepat untuk meninggalkan kapal? Membiarkannya karam bersama mimpi-mimpi yang tenggelam. Karena sungguh, aku tidak pernah memahami amarahmu, sebagaimana kau tak pernah memahami hancurku.

     Aku memandangmu dengan samar, sebagaimana engkau memikirkanku dengan nanar. 

     Pergilah! Cari kapal yang lebih besar untuk mendekatkanmu pada apa yang engkau mau. Namun, sebelum kau menyerah, ajari aku berjalan tanpamu, tersenyum tanpamu, bernapas tanpamu. Aku yang keras kepala akan ada disini, menunggumu, atau apapun yang tersisa darimu.

      Sesekali ombak menggodaku. Katanya, lebih baik sendirian tapi punya seseorang yang peduli, daripada punya pasangan tapi merasa sendirian. Aku tidak tahu apakah harus terbahak-bahak, ataukah harus merenung. Memikirkanmu selalu abu-abu. Aku hampir tidak lagi melihat batasan senang dengan sedih. Sekarang aku mengerti, bahwa tak selamanya rasa harus dimengerti.

  Aku sudah bersiap untuk kehilanganmu, sebagaimana kau sudah bersiap untuk melepaskanku.


Garis Waktu

Ketika Duniamu Hancur
Berkeping-keping
Februari, tahun kedua


 kudengar seseorang berhasil menghancurkan hatimu. Hampir saja aku yang terbiasa bertepuk sebelah tangan ini bertepuk tangan sambil memuji-muji karma. Tapi, mana mungkin aku tega melihatmu berduka! Orang bodoh macam apa yang membiarkanmu terluka? Kau yang kuyakin tercipta saat Tuhan sedang gembira, sebenar-benarnya pantas mendapatkan yang terbaik. Atau, jika tidak, ijinkan aku mencoba memberikan yang terbaik.

      Kau menangis deras. Katamu, ia pergi meninggalkanmu kedinginan di ujung bumi. Bahkan di saat seperti ini, kau masih berusaha tegar. Kita sama. Entah terlalu pintar menyembunyikan perasaan, atau terlalu bodoh untuk menyatakan. Sudahlah... Sesekali tak apa menjadi manusia biasa. Wajar untuk terluka, untuk membutuhkan tempat bersandar, untuk tidak baik-baik saja. Bahkan orang terkuat di muka bumi pun pernah berkabung. Sembuh itu butuh waktu, bukan paksaan. Saat semua tidak berjalan semestinya, kita bisa mengangkat tangan untuk menyerah atau mengangkat tangan untuk berdoa. Kuharap kau memilih yang kedua. 

      Ayolah, hentikan isakanmu. Apa harus memprioritaskan orang yang hanya menjadikanmu pilihan? Kau bukan pilihan ganda, dia bukan jawaban, dan hidup kalian bukan kertas ujian. Bukan rezeki dia, tapi rezekimu untuk kelak mendapatkan seseorang yang bisa memprioritaskanmu. Yang tidak punya hati jangan di masukan kedalam hati. Yang tidak punya perasaan jangan di bawa perasaan. Yang main-main tidak perlu di anggap serius.

      Kalau kau sedang rapuh, simpan sejenak hatimu. Biarkan proses dalam waktu menyembuhkan. Perasaan memang tidak bisa diburu-buru, tapi juga jangan berlama-lama meratapi seseorang yang tidak bisa menghargaimu. Dekatkan dirimu pada orang-orang yang membuatmu bahagia. Merekalah yang seharusnya kau jaga. Yang lainnya hanya menumpang lewat. Jadi, sebelum menoleh lagi ke belakang, pastikan kau lihat seseorang yang menantimu di depan. Mengenang masa lalu bukan berarti harus mengulang. Kalau dia tidak bisa menghargai kesempatan baik yang kau beri, beri dirimu sendiri kesempatan untuk mendapatkan kisah yang lebih baik. Karena yang benar-benar peduli akan menghentikan air matamu jatuh, bukan membuat air matamu jatuh.

  Ketahuilah, beberapa tangan melepaskan genggamannya saat hidupmu bertambah sulit agar tanganmu kosong dan bisa digenggam oleh seseorang yang takkan pernah melepaskanmu.


           Fiersa Besari (Garis Waktu)