Nelangsa
September, tahun ketiga
September, tahun ketiga
Kumainkan rekaman perihal kita, lagi dan lagi, di kepala yang hampir pecah. Kau ingat saat kita saling tersenyum lalu berkenalan? Kau ingat saat kita duduk di tepian senja? Kau ingat saat kita saling menggenggam tangan seakan tidak mau melepas? Kau ingat saat kita saling mengkhawatirkan? Kau ingat saat kita di pisahkan jarak? Kau ingat saat kita mencoba bertahan, walau tiada tau kapan lagi bisa saling menatap? Kau ingat saat kita saling mengingatkan untuk mengingat satu sama lain? Kau ingat saat kita menjadi jarang berbincang? Kau ingat saat kita semakin menghilang?
Pernahkah ingatan menusuk hatimu bertubi-tubi? Pernahkah rasa bersalah mengejek dan mentertawakanmu?
Mati-matian kau tutup telinga,namun suara-suara itu malah semakin kuat berteriak. Aku pernah, bahkan sering, setiap hari setelah kejadian itu. Bagaimana jika kesalahanmu bermula karena kesalahanku? Bagaimana jika ketertutupanmu bermula karena ketertutupanku? Ketika tangan tak di ciptakan untuk berpasangan, ketika kita di hadapkan pada pahitnya pilihan, adakah rasa yang di ciptakan untuk menjadi dosa? Bukankah sudah kuselipkan namamu dalam doa?
Purnama enggan menjawab. Sementara mentari bergerak laksana keong semenjak kita tidak lagi saling menyapa. Terlalu lamban hari-hariku berganti. Dan walau siang bertukar peran dengan malam, namun perguliran tak pernah menjadi sebuah hari baru untukku. Semua hanya repatisi yang terjadi terus menerus tanpa tahu lagi kemana jiwa ini harus menggapai. Ketika kesetiaan menjadi barang mahal, ketika kata maaf terlalu sulit untuk di ucap, ego siapa yang sedang kita beri mkan?
Entah.....!!!!
Aku hanya ingin menikmati mimpi kita yang hancur berantakan; duduk di tepi bumi dan bersedu sedan. Perbolehkan aku menjadi manusia biasa yang berhak rapuh ketika keadaan menjadi berat. Tidak apa-apa, aku hanya butuh waktu sendiri. Bukan untuk di nasehati.
Aku tidak senaif itu.
Aku marah, bukan berarti tak peduli. Aku diam, bukan berarti tak memperhatikan. Dan aku hilang bukan berarti tak ingin di cari.
Fiersa Besari (Garis Waktu)
Pernahkah ingatan menusuk hatimu bertubi-tubi? Pernahkah rasa bersalah mengejek dan mentertawakanmu?
Mati-matian kau tutup telinga,namun suara-suara itu malah semakin kuat berteriak. Aku pernah, bahkan sering, setiap hari setelah kejadian itu. Bagaimana jika kesalahanmu bermula karena kesalahanku? Bagaimana jika ketertutupanmu bermula karena ketertutupanku? Ketika tangan tak di ciptakan untuk berpasangan, ketika kita di hadapkan pada pahitnya pilihan, adakah rasa yang di ciptakan untuk menjadi dosa? Bukankah sudah kuselipkan namamu dalam doa?
Purnama enggan menjawab. Sementara mentari bergerak laksana keong semenjak kita tidak lagi saling menyapa. Terlalu lamban hari-hariku berganti. Dan walau siang bertukar peran dengan malam, namun perguliran tak pernah menjadi sebuah hari baru untukku. Semua hanya repatisi yang terjadi terus menerus tanpa tahu lagi kemana jiwa ini harus menggapai. Ketika kesetiaan menjadi barang mahal, ketika kata maaf terlalu sulit untuk di ucap, ego siapa yang sedang kita beri mkan?
Entah.....!!!!
Aku hanya ingin menikmati mimpi kita yang hancur berantakan; duduk di tepi bumi dan bersedu sedan. Perbolehkan aku menjadi manusia biasa yang berhak rapuh ketika keadaan menjadi berat. Tidak apa-apa, aku hanya butuh waktu sendiri. Bukan untuk di nasehati.
Aku tidak senaif itu.
Aku marah, bukan berarti tak peduli. Aku diam, bukan berarti tak memperhatikan. Dan aku hilang bukan berarti tak ingin di cari.
Fiersa Besari (Garis Waktu)